Nama depanku diambil dari nama daerah tempat
aku dilahirkan, Surantih. Sedangkan nama belakangku diambil dari salah satu
ayat dalam Al-Qur’an surat Al-fajr. Amboy, kerennya namaku! Ada sejarah dan doa
dalam namaku. Oi, aku benci sekali ketika ada orang yang berkelakar “apalah
artinya sebuah nama”. Tak tahukah kau bahwa selalu ada alasan dibalik semua
urusan? Ketika kau beri nama anakmu tanpa berpikir panjang itu karena kau menganggap
nama tidaklah berpengaruh terhadap si anak. Bukankah itu juga sebuah alasan? “Nama
adalah doa”, begitu kata kakekku yang biasa kami panggil Abak. Aku lahir hari
senin ketika matahari mulai tenggelam. Kata Amaku, waktu itu ada beberapa orang
yang berebut ingin mengambil tali plasentaku untuk jimat. Ah, masyarakat
kampungku memang akrab dengan ilmu perdukunan. Untunglah nenekku mengubur tali
plasenta itu di tempat yang sulit ditemukan oleh para “pemburu” itu.
Bagaimana? Sudah bisa menebak namaku?
Ah, nanti saja kuberi tahu. Biarlah para penganut istilah “apalah arti sebuah
nama” merasa senang dengan ketiadaan namaku ini. Mari lanjutkan kisah ini,
abaikan saja namaku.
Ah, hampir saja aku lupa. Cerita ini
seharusnya berkisah tentang perjuanganku mencapai bangku kuliah. TK, SD, SMP,
SMA, kuliah kalau mampu. Aih! Sudah seperti rukun islam saja.
Dari dulu aku memang tidak mahir menggambar dan kurang pandai bersenandung. Kata temanku itulah akibat dari tidak sekolah TK. Ada-ada saja. Aku masuk SD dua kali. Pertama, gagal. Aku hanya bertahan satu jam saja. Aku menangis tak mau berpisah dengan Ama. Ama tak bisa selalu menemaniku.
“Ama tak bisa menemanimu, sayang. Ada saat dimana kau jauh dariku. Belajarlah untuk bisa jauh dari Ama.” Ama tersenyum panik.
Aku tak mempan bujuk rayu apapun. Aku benar-benar kebal sekali hari itu!
“Ya sudahlah, masih ada tahun depan. Ama harap kau tak menyesalinya kelak. Jangan salahkan siapapun, ini keputusanmu.” Ama beranjak membawaku keluar kelas.
Hari itu aku merasa meraih kemenangan besar. Hari itu adalah kali pertama aku membuat keputusan untuk diriku sendiri.
Dari dulu aku memang tidak mahir menggambar dan kurang pandai bersenandung. Kata temanku itulah akibat dari tidak sekolah TK. Ada-ada saja. Aku masuk SD dua kali. Pertama, gagal. Aku hanya bertahan satu jam saja. Aku menangis tak mau berpisah dengan Ama. Ama tak bisa selalu menemaniku.
“Ama tak bisa menemanimu, sayang. Ada saat dimana kau jauh dariku. Belajarlah untuk bisa jauh dari Ama.” Ama tersenyum panik.
Aku tak mempan bujuk rayu apapun. Aku benar-benar kebal sekali hari itu!
“Ya sudahlah, masih ada tahun depan. Ama harap kau tak menyesalinya kelak. Jangan salahkan siapapun, ini keputusanmu.” Ama beranjak membawaku keluar kelas.
Hari itu aku merasa meraih kemenangan besar. Hari itu adalah kali pertama aku membuat keputusan untuk diriku sendiri.
Tahun 1997 akhirnya mau tak mau aku memasuki dunia nan aneh itu, sekolah. Hari pertama masuk sekolah adalah masa perdana aku merasa galau. Haha! Untunglah kegalauan perdana itu tak sampai pada hari-hari selanjutnya. Wow, masa SD berjalan mulus dan lancar! Cuma “kambie story” ketika pelajaran bahasa inggris yang sedikit menodai masa kejayaanku. Benci sekali aku belajar bahasa Inggris. Aku masih ingat waktu itu seisi kelas tertawa gara-gara aku tak mengerti ketika guruku berkata come here. Aku kira beliau mengatakan “kambie”. Tahukah kamu? Dalam bahasa daerahku, kambie berarti kelapa.Dengan polosnya aku berkata, “untuk apa kambie buk? Ibuk mau beli kambie?” Haha! Sontak semua tertawa. Wahai bahasa Inggris, musnahlah kau untuk selama-lamanya! Tak apalah, aku selalu menyabet gelar juara kelas. Jebret! Jebret! Ah, aku tidak sepintar yang orang kira. Aku cuma beruntung saja. Teman-temanku, sebagai pesaing abadiku selama 6 tahun, memang agak pemalas. Aku lumayan rajin, sedangkan mereka lumayan tak kunjung rajin. Tuh kan! aku cuma beruntung saja, beruntung mereka tak kunjung rajin belajar. Kalau mereka semua rajin belajar, celakalah aku! Aku pasti harus berjuang belajar sampai mata sipitku berubah jadi bulat seperti bola pingpong!
Lain Bengkulu lain Semarang, lain dulu
lain sekarang. Teman SMPku sudah ada yang tobat dari kemalasan akut masa SDnya.
Ah, aku galau lagi. Akhirnya aku mengisi ulang rasa galau perdana yang dulu
didapat sewaktu awal SD itu. Ah, itu belum akut. Waktu SMA, galau itu makin
kritis sehingga nilai raportku masuk UGD. Aku ketagihan mengisi ulang si galau.
Aku berada di sarang kumpulan si otak cerdas. Aku duduk manis di kelas unggul
yang dikelilingi si rajin. Nilaiku memang tak buruk, tapi aku tak bisa lagi
menikmati “jebret jebret” juara seperti sewaktu SD. Kata orang, kalau sekolah
tak dapat juara rasanya kurang greget. Ah, apalah artinya juara tanpa disertai
ilmu yang bisa bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Mau cari ilmu atau cari
juara? Kalau bisa dapat kedua-duanya, like
this yo. Haha. Ya sudahlah. Beruntung aku punya orang tua yang tak memaksa
anaknya untuk selalu menjadi anak yang cemerlang. Semua keputusan diserahkan
padaku. Aku bukan anak-anak lagi yang harus selalu diarahkan. Aku mengerti,
amat mengerti maksud mereka.
Tua itu pasti, dewasa itu pilihan. Aku
tak pernah memilih untuk jadi dewasa. Dewasa datang menghampiriku
perlahan-lahan dengan membawa serta teman baiknya, si musibah. Aku lulus SMA
namun tak lulus satupun ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku mengikuti tiga
kali ujian, tak perlulah disebutkan nama seleksinya, dengan pilihan kedokteran,
hanya kedokteran. Dari dulu aku selalu berambisi ingin jadi dokter. Menjadi
dokter adalah cita-cita tunggalku! Orang tuaku tak marah dengan semua
kegagalanku, tak marah.
“tak apa-apa, nak. Belum rejekimu. Semua pasti ada hikmahnya. Konsentrasimu pasti pecah gara-gara ayahmu kritis masuk UGD di saat kau sedang sibuk-sibuknya mengikuti ujian. Kau terkadang harus menemani ayahmu di rumah sakit ketika seharusnya kau belajar. Cobalah lagi nanti, tahun depan. Selama ini kau tak pernah dipaksa dalam urusan bersekolah, tapi kali ini bisakah kau ikhlas nak? Ikhlaskanlah waktumu setahun untuk menemani Ama kau ini. Ama hanya bisa membiayai kuliahmu kalau kau kuliah di universitas negeri. Temanilah Ama untuk setahun kedepan, nak. Rumah akan makin sepi tanpa kau dan ayahmu. Ama pasti akan sangat canggung, nak. Kita terbiasa berempat, nak. Kalau kau pergi juga, maka Ama dan adikmu pasti akan sangat kesepian.” Tangis Ama sudah tak terbendung lagi.
“tak apa-apa, nak. Belum rejekimu. Semua pasti ada hikmahnya. Konsentrasimu pasti pecah gara-gara ayahmu kritis masuk UGD di saat kau sedang sibuk-sibuknya mengikuti ujian. Kau terkadang harus menemani ayahmu di rumah sakit ketika seharusnya kau belajar. Cobalah lagi nanti, tahun depan. Selama ini kau tak pernah dipaksa dalam urusan bersekolah, tapi kali ini bisakah kau ikhlas nak? Ikhlaskanlah waktumu setahun untuk menemani Ama kau ini. Ama hanya bisa membiayai kuliahmu kalau kau kuliah di universitas negeri. Temanilah Ama untuk setahun kedepan, nak. Rumah akan makin sepi tanpa kau dan ayahmu. Ama pasti akan sangat canggung, nak. Kita terbiasa berempat, nak. Kalau kau pergi juga, maka Ama dan adikmu pasti akan sangat kesepian.” Tangis Ama sudah tak terbendung lagi.
16 Agustus 2009 ayah meninggal, tak
lama setelah kisah kegagalanku. Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula. Hidupku
seperti pertukaran tv berwarna ke tv hitam putih. Kemunduran hidup. Suram.
Itu lima tahun yang lalu. Aku bangkit,
Ama bangkit, adik bangkit, kami semua move
on! Tangis tak akan menyelesaikan masalah. Air mata tak akan mengembalikan
ayah. Kami ikhlas. Aku ikhlaskan kisah “sudahlah jatuh tertimpa tangga pula”ku.
Bahagia milik orang yang mau memilikinya. Berbahagialah kapanpun kau mau. Aku bahagia
dengan jalan hidupku. Kalau Tuhan mengizinkan, aku akan berusia 24 lima bulan
lagi. Aku dua tahun lebih tua dari semua teman-teman sekelasku. Kelas? Ya! Aku
telah semester 8 sekarang. Kedokteran? Bukan.
Tuhan menjodohkanku dengan jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Benar-benar tak terduga. Tak disangka ternyata “kambie story” adalah awal proses perjodohanku dengan sastra Inggris UNP.
Akulah si Jiwa yang Tenang, seperti
makna namaku. Abak benar, nama adalah doa. Aku berhasil melalui masa “sudahlah
jatuh tertimpa tangga pula”ku. Aku akan selalu jadi perempuan tegar nan cerdas
seperti yang sering diajarkan oleh dosenku, Buk Kurnia Ningsih. Aku akan jadi
anak kebanggaan Ama yang akan merubah image
jelek tentang orang kampungku. Kelak kampungku bukan lagi terkenal karena
“dukun”, tetapi terkenal karena banyaknya mencetak cendekiawan yang amanah. Aku
akan membuat Ama menjadi guru SD paling bahagia sedunia! Aamiin. Walau kami
bertiga terpisah, hati kami selalu menyatu. Ama tinggal sendiri di rumah, Rinto
tinggal sendiri di kos, dan aku di tempat yang aman walau jauh dari Ama. Kami
bahagia!
Aku Ranti Muthmainnah, perempuan
sederhana dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Salam kambie story! Haha