my beautiful life

my beautiful life
Everybody is unique.

Jumat, 02 Mei 2014

Kambie Story



 Nama depanku diambil dari nama daerah tempat aku dilahirkan, Surantih. Sedangkan nama belakangku diambil dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an surat Al-fajr. Amboy, kerennya namaku! Ada sejarah dan doa dalam namaku. Oi, aku benci sekali ketika ada orang yang berkelakar “apalah artinya sebuah nama”. Tak tahukah kau bahwa selalu ada alasan dibalik semua urusan? Ketika kau beri nama anakmu tanpa berpikir panjang itu karena kau menganggap nama tidaklah berpengaruh terhadap si anak. Bukankah itu juga sebuah alasan? “Nama adalah doa”, begitu kata kakekku yang biasa kami panggil Abak. Aku lahir hari senin ketika matahari mulai tenggelam. Kata Amaku, waktu itu ada beberapa orang yang berebut ingin mengambil tali plasentaku untuk jimat. Ah, masyarakat kampungku memang akrab dengan ilmu perdukunan. Untunglah nenekku mengubur tali plasenta itu di tempat yang sulit ditemukan oleh para “pemburu” itu. 

Bagaimana? Sudah bisa menebak namaku? Ah, nanti saja kuberi tahu. Biarlah para penganut istilah “apalah arti sebuah nama” merasa senang dengan ketiadaan namaku ini. Mari lanjutkan kisah ini, abaikan saja namaku.
Ah, hampir saja aku lupa. Cerita ini seharusnya berkisah tentang perjuanganku mencapai bangku kuliah. TK, SD, SMP, SMA, kuliah kalau mampu. Aih! Sudah seperti rukun islam saja.
Dari dulu aku memang tidak mahir menggambar dan kurang pandai bersenandung. Kata temanku itulah akibat dari tidak sekolah TK. Ada-ada saja. Aku masuk SD dua kali. Pertama, gagal. Aku hanya bertahan satu jam saja. Aku menangis tak mau berpisah dengan Ama. Ama tak bisa selalu menemaniku.
“Ama tak bisa menemanimu, sayang. Ada saat dimana kau jauh dariku. Belajarlah untuk bisa jauh dari Ama.” Ama tersenyum panik.
Aku tak mempan bujuk rayu apapun. Aku benar-benar kebal sekali hari itu!
“Ya sudahlah, masih ada tahun depan. Ama harap kau tak menyesalinya kelak. Jangan salahkan siapapun, ini keputusanmu.” Ama beranjak membawaku keluar kelas.
Hari itu aku merasa meraih kemenangan besar. Hari itu adalah kali pertama aku membuat keputusan untuk diriku sendiri. 

Tahun 1997 akhirnya mau tak mau aku memasuki dunia nan aneh itu, sekolah. Hari pertama masuk sekolah adalah masa perdana aku merasa galau. Haha! Untunglah kegalauan perdana itu tak sampai pada hari-hari selanjutnya. Wow, masa SD berjalan mulus dan lancar! Cuma “kambie story” ketika pelajaran bahasa inggris yang sedikit menodai masa kejayaanku. Benci sekali aku belajar bahasa Inggris. Aku masih ingat waktu itu seisi kelas tertawa gara-gara aku tak mengerti ketika guruku berkata come here. Aku kira beliau mengatakan “kambie”. Tahukah kamu? Dalam bahasa daerahku, kambie berarti kelapa.Dengan polosnya aku berkata, “untuk apa kambie buk? Ibuk mau beli kambie?” Haha! Sontak semua tertawa. Wahai bahasa Inggris, musnahlah kau untuk selama-lamanya! Tak apalah, aku selalu menyabet gelar juara kelas. Jebret! Jebret! Ah, aku tidak sepintar yang orang kira. Aku cuma beruntung saja. Teman-temanku, sebagai pesaing abadiku selama 6 tahun, memang agak pemalas. Aku lumayan rajin, sedangkan mereka lumayan tak kunjung rajin. Tuh kan! aku cuma beruntung saja, beruntung mereka tak kunjung rajin belajar. Kalau mereka semua rajin belajar, celakalah aku! Aku pasti harus berjuang belajar sampai mata sipitku berubah jadi bulat seperti bola pingpong!

Lain Bengkulu lain Semarang, lain dulu lain sekarang. Teman SMPku sudah ada yang tobat dari kemalasan akut masa SDnya. Ah, aku galau lagi. Akhirnya aku mengisi ulang rasa galau perdana yang dulu didapat sewaktu awal SD itu. Ah, itu belum akut. Waktu SMA, galau itu makin kritis sehingga nilai raportku masuk UGD. Aku ketagihan mengisi ulang si galau. Aku berada di sarang kumpulan si otak cerdas. Aku duduk manis di kelas unggul yang dikelilingi si rajin. Nilaiku memang tak buruk, tapi aku tak bisa lagi menikmati “jebret jebret” juara seperti sewaktu SD. Kata orang, kalau sekolah tak dapat juara rasanya kurang greget. Ah, apalah artinya juara tanpa disertai ilmu yang bisa bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Mau cari ilmu atau cari juara? Kalau bisa dapat kedua-duanya, like this yo. Haha. Ya sudahlah. Beruntung aku punya orang tua yang tak memaksa anaknya untuk selalu menjadi anak yang cemerlang. Semua keputusan diserahkan padaku. Aku bukan anak-anak lagi yang harus selalu diarahkan. Aku mengerti, amat mengerti maksud mereka. 

Tua itu pasti, dewasa itu pilihan. Aku tak pernah memilih untuk jadi dewasa. Dewasa datang menghampiriku perlahan-lahan dengan membawa serta teman baiknya, si musibah. Aku lulus SMA namun tak lulus satupun ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku mengikuti tiga kali ujian, tak perlulah disebutkan nama seleksinya, dengan pilihan kedokteran, hanya kedokteran. Dari dulu aku selalu berambisi ingin jadi dokter. Menjadi dokter adalah cita-cita tunggalku! Orang tuaku tak marah dengan semua kegagalanku, tak marah.
“tak apa-apa, nak. Belum rejekimu. Semua pasti ada hikmahnya. Konsentrasimu pasti pecah gara-gara ayahmu kritis masuk UGD di saat kau sedang sibuk-sibuknya mengikuti ujian. Kau terkadang harus menemani ayahmu di rumah sakit ketika seharusnya kau belajar. Cobalah lagi nanti, tahun depan. Selama ini kau tak pernah dipaksa dalam urusan bersekolah, tapi kali ini bisakah kau ikhlas nak? Ikhlaskanlah waktumu setahun untuk menemani Ama kau ini. Ama hanya bisa membiayai kuliahmu kalau kau kuliah di universitas negeri. Temanilah Ama untuk setahun kedepan, nak. Rumah akan makin sepi tanpa kau dan ayahmu. Ama pasti akan sangat canggung, nak. Kita terbiasa berempat, nak. Kalau kau pergi juga, maka Ama dan adikmu pasti akan sangat kesepian.” Tangis Ama sudah tak terbendung lagi. 

16 Agustus 2009 ayah meninggal, tak lama setelah kisah kegagalanku. Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula. Hidupku seperti pertukaran tv berwarna ke tv hitam putih. Kemunduran hidup. Suram. 

Itu lima tahun yang lalu. Aku bangkit, Ama bangkit, adik bangkit, kami semua move on! Tangis tak akan menyelesaikan masalah. Air mata tak akan mengembalikan ayah. Kami ikhlas. Aku ikhlaskan kisah “sudahlah jatuh tertimpa tangga pula”ku. Bahagia milik orang yang mau memilikinya. Berbahagialah kapanpun kau mau. Aku bahagia dengan jalan hidupku. Kalau Tuhan mengizinkan, aku akan berusia 24 lima bulan lagi. Aku dua tahun lebih tua dari semua teman-teman sekelasku. Kelas? Ya! Aku telah semester 8 sekarang. Kedokteran? Bukan.

Tuhan menjodohkanku dengan jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Benar-benar tak terduga. Tak disangka ternyata “kambie story” adalah awal proses perjodohanku dengan sastra Inggris UNP. 

Akulah si Jiwa yang Tenang, seperti makna namaku. Abak benar, nama adalah doa. Aku berhasil melalui masa “sudahlah jatuh tertimpa tangga pula”ku. Aku akan selalu jadi perempuan tegar nan cerdas seperti yang sering diajarkan oleh dosenku, Buk Kurnia Ningsih. Aku akan jadi anak kebanggaan Ama yang akan merubah image jelek tentang orang kampungku. Kelak kampungku bukan lagi terkenal karena “dukun”, tetapi terkenal karena banyaknya mencetak cendekiawan yang amanah. Aku akan membuat Ama menjadi guru SD paling bahagia sedunia! Aamiin. Walau kami bertiga terpisah, hati kami selalu menyatu. Ama tinggal sendiri di rumah, Rinto tinggal sendiri di kos, dan aku di tempat yang aman walau jauh dari Ama. Kami bahagia! 

Aku Ranti Muthmainnah, perempuan sederhana dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat.  Salam kambie story! Haha